Minum Teh

Ada yang pernah memanggil kenangan masa lalu ke masa kini? Saya sering 🙂

Saya kerap merindukan banyak hal dan kebiasaan yang dulu sering dilakukan, semisal ketika ibunda masih ada. Ibu saya tuh jadul banget kebiasaannya. Di pagi atau sore hari senang duduk menghadap meja bundar di ruang makan, menghadapi teko berisi teh panas, termos air panas, beberapa cangkir yang diletakkan menelungkup, dan kudapan kue atau roti tawar (Roti Sumber Hidangan yang legend itu dong), yang dilengkapi dengan selai kacang beserta palm suiker, atau selai coklat Crumpy, atau mentega dan muisjes merk Ceres.

Suasana seperti itu yang sering saya rindukan kembali. Ngobrol dengan mami, santai, gak dikejar waktu, gak bentar² liat jam karena mau pergi. Sayangnya dulu saya gak terlalu sering melakukannya karena saya kuliah, lalu bekerja, dan berpikir bahwa itu kok seperti tamu²an di rumah. Padahal kalau dipikir-pikir sekarang, itu menyamankan hati, dan menggembirakan, dan membahagiakan.

Sekarang ini terkadang saya masih melakukannya, bersama kakak perempuan saya. Kalau saya ke Jakarta ke rumahnya, ya begitulah, pagi² duduk santai, ngobrol sambil ngeteh dan sarapan, sebelum pergi kemanaaa gitu ke tempat yang juga menyenangkan untuk jalan² dan motret². Alhamdulillah punya kakak yang juga seneng motret. Bersama dia, waktu berjalan dengan menyenangkan, tidak terbuang percuma, karena kalau ngobrol pun berbagi info, atau berbagi pengalaman² yang menambah wawasan.

Hari ini, kakak saya datang ke rumah, sowan sebelum pulang kembali ke Jakarta. Saya gembira bisa memanggil kenangan masa lalu ke rumah saya. Jadilah “tamu²an” di rumah, minum teh dari teko yang sudah disiapkan (tehnya dari Malang, cap Naga, enak banget), makan makaroni panggang (dulu mami juga sering bikin ini) dan pempek buatan sendiri, ngobrol soal tanaman dan perawatannya, soal kesehatan, soal krim penghangat untuk pijat dan obrolan² lain yang menghangatkan hati.

Salah satu kenangan yang saya undang hadir siang ini adalah teko dan tutupnya yang terbuat dari busa. Saya ingat, dulu di rumah mami juga pakai tutup busa seperti itu, agar teh tetap hangat. Cuman saya gatau lagi, dimana penutup teko milik mami. Yang siang tadi saya pakai adalah yang saya beli tempo hari di toko langganan di Jawa Tengah. Pas liat, langsung jatuh cinta, dan teringat mami. Ya harus saya beli kalau sudah begitu 🙂

Apa istimewanya penutup teh seperti itu? Keistimewaannya memang hanya bisa dirasakan, sulit diungkapkan, sebagai kenangan masa lalu yang dirasakan kembali saat ini. Pokoknya, hari ini, rasanya seperti liburan, tidur di losmen (bukan di hotel mewah) minum teh harum buatan Jawa Tengah atau Jawa Timur, mendengarkan suara cericit burung, sambil mengudap kudapan jadul.

Jadi, kebahagiaan kamu sesederhana minum teh di teras belakang rumah?

Iya, begitulah. Lha kan katanya, bahagia itu sederhana. Alhamdulillahi rabbil alamiin.

Mariii, menikmati tea time, dan merasa bahagia, di rumah saja.

Benteng Pendem Ambarawa

Pelajarannya adalah : jangan pernah memastikan sesuatu yang belum terjadi. Seperti saya, merasa bahwa trip ke Bali di pertengahan tahun ini adalah perjalanan seru saya tahun ini, lalu berpikir bahwa trip keluar kota selanjutnya baru akan saya jalani tahun depan.

Salah tuh. Menjelang akhir tahun, November awal, saya ditelpon abang saya, diajak ke Yogya, motret. Mau dong, jelas. Saya tahu, bepergian bersamanya bakal banyak motret sepanjang jalan, hal yang sangat saya sukai.

Jadi saya berangkat dari Bandung menuju Jakarta, menginap semalam di Jakarta, lalu esok harinya naik mobil menuju Yogyakarta, lewat jalur utara, dan gak kebayang bakal dreams come true di perjalanan.

Sudah lama saya ingin mengunjungi benteng Van den Bosch di Ngawi, liat foto²nya bertebaran di dunia maya, bagus banget. Historical buildings selalu indah untuk diabadikan. Tapi gatau kapan akan terlaksana. Meskipun Ngawi itu dekat kota kelahiran saya, Madiun, tapi ya gak mudah juga kan untuk kesana?

Nah, di perjalanan kali ini, saya berkesempatan mampir dong di salah satu benteng yang keren juga, Benteng Pendem Ambarawa atau Benteng Fort Willem I yang dibangun tahun 1834.

Nama Fort Willem I diambil dari nama Raja Belanda Willem Frederik Prins Vans Oranje-Nassau (1815-1840).

Sedangkan sebutan Benteng Pendem berhubungan dengan bangunannya tertutup tanah, karena dalam bahasa Jawa, istilah pendem berarti berada di bawah tanah atau terkubur.

Menjelang sore hari ketika kami sampai di sana, mendung, bahkan hujan gerimis. Bagi saya, cuaca seperti itu bersahabat banget, mencuatkan suasana suram di bagian dalam benteng yang berupa jalan (masuk melalui terowongan) yang diapit dua bangunan kuno di kiri kanannya.

Benteng Pendem ini jenik sekali, dengan beberapa bagian yang sudah terlihat tidak utuh, mengekspos batu bata di dalamnya.

Suasa benteng agak seram, memang. Namanya juga bangunan kuno, ya gitulah atmosfirnya, ada “rasa masa lalu” yang kental.

Mau cerita apa lagi tentang Benteng Pendem ini? Sudah sajalah ya. Lebih baik menyaksikannya sendiri ke sana, dijamin tidak akan mengecewakan.

Foto yang saya unggah di sini hanya satu, foto lainnya bisa dilihat di https://instagram.com/viverasiregar?utm_medium=copy_link

Alhamdulillah bulan Desember bisa nulis satu postingan di blog. Lumayan, bagi saya ini prestasi lho, soalnya blog ini sering terlupakan. Semoga saya bisa rajin menulis lagi seperti dulu. Aamiin.

Dalam dua minggu

Sejak terakhir kali menulis di sini, saya banyak konsultasi dengan beberapa teman baik saya. Teman baik? Iya. Sedikit sekali kok jumlahnya. Orang² yang saya percayai, teman diskusi yang banyak memberi info bermanfaat yang membuat saya maju, yang membuat saya tercerahkan setelah ngobrol dengannya, memotivasi saya untuk melakukan perbaikan dalam hidup saya, yang mendorong saya untuk terus mempelajari hal² baru.

Minggu pertama, saya sadar bahwa saya harus upgrade skill, saya siapkan diri untuk itu. Tinggal pelajari, dan praktek. Lalu selain itu, saya mainan Canva, saya coba bikin ilustrasi², hepi, sampai² kurang tidur, lupa waktu. Senang. Sesuatu yang dulu gak pernah kebayang akan bisa saya lakukan, dengan sedikit latihan, lumayan lah, ternyata bisa juga.

Minggu kedua, minggu lalu, saya lari², hunting, menyiapkan foto² untuk dua lomba yang ingin saya ikuti. Gak ada ambisi apa pun, pokoknya ikutan, bukan sekadar ngeramein juga. Meskipun nothing to lose, saya tetap harus menyiapkan yang terbaik. Yang penting saya gembira melakukannya, dan ikutan lomba itu menambah kepercayaan diri saya, membuat saya sadar, ternyata ada hal² yang mampu saya lakukan, yang sebelumnya gak pernah saya sadari. Iya sih, dalam kondisi dikejar deadline, biasanya kita bisa melakukan dan menyelesaikan hal² yang biasanya tidak mampu kita lakukan. Kebiasaan jaman kuliah, sistem kebut semalam.

Minggu ini kurva kesibukan saya sudah melandai. Awas hati², merasa nyaman, dengan alasan butuh istirahat, jangan sampai berkelanjutan, lalu jadi malas dan tidak produktif. Gak boleh kelamaan bermalasan tanpa menghasilkan sesuatu. Okay, maksimal sampai hari Minggu, setelah itu mulai membuat sesuatu lagi, apapun, pokoknya ada hasil karya yang diselesaikan.

Gitu ya bu. Tetap semangat, terus bekerja, terus tuangkan ide², menjadi karya.

Sekarang sudah tahun 2021

Ilustration : Google

Oh good. Jadi sudah 2,5 tahun (dua setengah tahun cuy, catet baik² di benak) aku gak ngisi blog yang manis ini. Kenapa? Gatau. Jangan bilang sibuklah. Semua orang dianugrahi waktu yang sama kok, 24 jam sehari semalam. Kok bisa asik chat dengan teman, kok sempat upload foto ke Instagram yang dibuat link ke Facebook. Kok ada waktu buat ngedit foto, dan buat buka Tiktoknya ex-magician yang podcastnya belakangan ini begitu dramatis. Kok sempat jalan ke Sumedang, ke curug Malela, ke Parongpong, ke Sanghyang Kenit di Rajamandala buat foto lokasi atau selfie untuk isi story Instagram?

Ah jangan pake alesan sibuk lah mbak. Jujur aja, blog ini terlupakan. Iya kan? Soalnya ada medsos lainnya yang lebih menyita perhatian. Dari dulu gitu mbak, kamu selalu mikir bahwa blog ini gak sepenting Facebook atau Instagram. Berarti bukan masalah sibuk, tapi masalah prioritas. Kamu nggak pernah prioritaskan menulis, yang kamu prioritaskan adalah motret. Ngaku ajalah 🙂

Beuh kamu.

Padahal barusan, ketika kamu baca ulang postingan terakhir, kamu senang, dan lebih senang lagi ketika melihat bahwa ada komen² di bawah postingan itu. Artinya : postingan kamu dibaca orang! Bukan sia², bukan kaya layangan putus yang nyungsep entah dimana, sobek² dan kertasnya gak bisa dipake buat bungkus apapun.

Jadi jelas kan? Kamu aja yang nganggap nggak penting, setidaknya kamu masih mikir bahwa menulis itu lebih gak penting daripada memotret. Salah! Kan untuk menulis caption Instagram yang pas dan sesuai dengan foto, kamu perlu berlatih, bukan sembarangan saja atau asal nyaplok quote dari Google. Bukannya kamu meyakini bahwa caption yang ditulis sendiri itu “rasa”-nya berbeda?

Terus sekarang, kamu mau bilang apa lagi? Mau bilang bahwa mulai saat ini bakal lebih rajin nge-blog disini? Gak perlu. Kamu pasti malu untuk nulis gitu lagi, bosen, udah terlalu sering ‘kan? Lebih baik lakukan saja dengan konsisten, gak usah promise only promise honeymoon only dreaming (janji tinggal janji, bulan madu hanya mimpi, wkwkwk). Kamu bisa konsisten motret, konsisten unggah foto, seharusnya juga bisa konsisten menulis.

Percayalah, kamu butuh menulis, untuk menumpahkan rasa, untuk mengungkapkan pemikiran, supaya hati dan benak kamu gak kepenuhan. Kamu akan merasa lega setelah menuangkan semuanya dalam bentuk tulisan. Isinya apa? Whatever. Apapun yang melintas di pikiranmu.

Nih, buktinya kamu bisa menulis satu postingan yang isinya introspeksi diri (baca: ngomelin diri sendiri). Tinggal melanjutkan dengan postingan² lain, kalau mau. Karena segala sesuatu itu berawal dari kemauan. Gitu aja.

My Bullet Journal

MY BULLET JOURNAL (1)

Gak bisa. Saya gak bisa bertahan lagi. Selama ini saya coba untuk mencatat semuanya hanya di dalam benak saya saja, atau agak sedikit “sok iye” dengan mencoba mencari aplikasi perencanaan harian di Play Store, atau pakai post it yang saya lekatkan dimana-mana termasuk di layar monitor laptop. Saya berharap (dan berusaha) untuk hidup dengan lebih terorganisir.

Kok susah ? Padahal dulu saya sangat seperti itu, semua dicatat di buku catatan kecil atau agenda. Saat kuliah dulu, saya membuat planning busana yang akan saya kenakan selama seminggu. Apa-apa yang akan saya lakukan selalu saya catat di buku agenda mini yang selalu saya bawa kemana-mana.

Lalu sekarang, ketika jaman lebih modern, saat tidak perlu lagi bawa pen dan notes, ketika mini komputer bernama ponsel selalu menemani saya pagi siang sore malam, kenapa rasanya waktu berjalan begitu cepat dan saya tidak menyelesaikan banyak hal? Aneh. Ini pasti ada yang missed dalam pengaturan waktu saya, atau dalam pencatatan saya, atau yang paling parah : dalam kedisiplinan saya.

Yes that’s the point. Disiplin. Ini yang saya rasakan terus berkurang dari hari ke hari. Saya tidak memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang baik yang semestinya terus menerus saya lakukan seperti menulis, memotret, membaca, menjaga kesehatan dengan makan yang “benar” plus berolahraga, serta hal-hal yang berkaitan dengan agama dan keyakinan (yang tidak pernah saya katakan kepada siapa pun karena itu sungguh-sungguh hal yang menurut saya sangat pribadi). Menurut saya, hal-hal seperti itu harus dilakukan secara berkesinambungan, gak bisa dan gak boleh nyantai, karena kalau nyantai, gak ada tujuan, gak ada goals, gak ada target. Lalu kalau kelewat nyantai, nanti saya akan mencontek ucapan banyak orang : “Ah, hidup saya sih mengalir aja seperti sungai, diikuti saja lah kemana alirannya”. Ini buat saya sih excuse, pembenaran atas ketidakdisiplinan saya 😊

Bukan mencari kambing hitam, tapi saya memang harus menelusuri lagi sejak kapan saya menjadi lebih santai dan menjadi “penunda sejati” yang semestinya tidak terjadi kalau saya ingin sungguh-sungguh memperbaiki diri. Setelah diingat-ingat lagi, saya  tahu bahwa kemalasan saya bertambah sejak sekitar 10 tahunan gitulah. Kok tau? Iya, tau kok, dan sadar. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya harus mengakui bahwa chat dan media sosial menyita cukup banyak waktu saya. Saya ingat, 2008 saya mulai punya Facebook, lalu diikuti Twitter, lalu diikuti Instagram, lalu ada BBM untuk berkomunikasi, lalu ada Whatsapp, ada Line, ada Telegram, ada ini ada itu ada dan sebagainya. Dan sejujurnya, waktu saya terdistraksi oleh semua itu, kalau saya menggunakannya  untuk lihat-lihat akun orang lain dan mengobrol saling jawab. Wah itu bisa menyita waktu berjam-jam. Bisa dibayangkan kalau japrian ngomongin orang, waaaaaah pasti akan lebih lama lagi waktu yang tersia-sia, soalnya ngomongin orang tuh bikin addict, mirip narkoba : buruk, dan nagih. Ngawur lah pokoknya 😊

OK, sudah ketemu penyebabnya. Yang penting disadari dulu penyebab saya menjadi « cileupeung ». Setelah sadar, baru dicari jalan keluarnya, karena kalau hanya sekadar menyadari tapi diem aja, gak akan ada gunanya, seperti duduk di kursi goyang, bergerak terus tapi gak maju-maju.

Adalah Dydie Prameswarie dan Tian Lustiana, teman-teman blogger saya, yang bulan lalu menuliskan tentang Bullet Journal. Tulisan mereka menginspirasi saya untuk kembali ke masa lalu, melontarkan diri ke kebiasaan saya saat kuliah, menuliskan semuanya, merencanakan apapun, di buku catatan, dan kali ini ditambah dengan warna-warni atau gambar. Ahahaha, ini asik banget, berasa kembali ke bangku sekolah dasar. Pasti seru.

Jadi sepemahaman saya sih, bullet journal ya nulis agenda pribadi untuk semua hal. Misalnya pingin kurus, saya akan bikin kotak-kotak tanggalan berderet, lalu di kolom kiri bisa dibuat makanan apa saja yang dikonsumsi, nanti di dalam kotak-kotak itu bisa diisi centang atau bulatan atau apapun yang menunjukkan bahwa makanan itu dikonsumsi atau tidak dikonsumsi. Di akhir bulan nanti, akan terlihat, bahwa setiap hari saya makan ayam dan daging, dan tidak pernah makan sayuran. Bulan berikutnya saya bikin lagi bullet journal untuk memperbaiki pola makan saya.

bullet journal 2
image from Pinterest

Ah, susah ngejelasinnya. Pokoknya journal lah, journal untuk semua kegiatan, dan dituliskan dengan gaya setiap orang, semau dia, pokoknya seneng liatnya. Mau diberi warna atau gambar ya monggo, pokoknya engkau hepi melakukannya. Kira-kira begitu.

Untuk merealisasikan bullet journal saya, yang pertama tentunya membeli buku catatan di toko buku yang terkenal itu, saya pilih yang polos saja seperti buku gambar supaya bisa saya gambari dengan semena-mena. Selain buku polos itu, saya juga membeli buku kalender 2019 untuk membantu saya mengingat rencana-rencana saya, kan sudah diniatkan untuk well planned tahun ini.

Untuk menulisi dan menggambari bullet journal, saya beli satu set spidol snowman yang murah (menghindari penyesalan kalau proyek ini tidak berlanjut). Sudah, itu saja.

Saya bukan ahli menggambar. Saya hanya punya kebiasaan berkhayal dan berimajinasi, serta bermimpi. Jadi saya perlu ide-ide gambar sederhana untuk mengisi bullet journal saya. Seperti biasa dong, saya mencarinya di Pinterest, dan begitu saya klik “bullet journal”, berderet-deretlah keluar gambar yang menginspirasi.

Minggu lalu saya sudah bikin gambar balon-balon untuk pengingat ulang tahun seluruh teman kantor. Jangan berprasangka baik bahwa saya teman yang penuh perhatian ya. Ini bagian dari pekerjaan saya di kantor, membeli kado untuk setiap pegawai yang berulang tahun. Maka saya harus mencatat dan mengingat tanggal kelahiran setiap pegawai.

Saya merencanakan akan membuat habit tracker di bullet journal saya. Saya tau itu akan menyakitkan karena saya akan menuliskan sesuatu yang selama ini menjadi kebiasaan yang kurang baik, dan secara perlahan mengubahnya menjadi kebiasaan yang lebih baik.

bullet journal 1
image from Pinterest

Baiklah, semoga dengan bantuan bullet journal dan buku kalender 2019 ini banyak kebiasaan yang bisa saya perbaiki. Namanya juga usaha. Kan katanya hari esok harus lebih baik dari hari ini dan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Bismillah. Doakan saya sukses yaa. Makasih 😊

Teriring ucapan terima kasih kepada siapa pun yang membuat saya berpikir untuk menjadi lebih baik.

Keep Writing

Kemarin Efi bikin aturan baru untuk Blog Walking dan Instagram Walking di grup WA Kumpulan Emak Blogger. Ini salah satu grup chat yang saya pertahankan sampai sekarang. Emang yang lain tidak ya? Yaaah so so lah. Grup chat itu kadang saya ingin masuk sendiri, kadang saya dijebloskan (tanpa seijin saya) dan membuat saya mati gaya karena gak betah. Keduanya sama saja pada akhirnya, ketika saya tidak merasa ada manfaatnya, atau kalau saya merasa sangat terganggu dengan banyaknya notifikasi, ya pilihannya adalah merampingkan jumlah grup dengan cara dadah dadah 🙂

Nah grup Emak Blogger ini saya suka, meskipun saya gak aktif, soalnya di sini saya banyak dapat pelajaran. Nggak ada yang sharing sih, tidak riuh seperti keumuman grup chat, tapi dimana pun, saya kan sangat senang menjadi pengamat. Nah saya perhatikan, di grup ini para anggotanya seperti dalam cerita Semut dan Belalang, dongeng kanak-kanak jaman dulu. Tentu mereka seperti semut ya, bukan mirip belalang (belalangnya kan pemalas, heu). Serius ini, para anggota grup ini rajin sekali menulis. Memang tidak semuanya, tapi banyak yang rajin. Setiap sekian hari, menulis postingan baru. Hebat idenya, dan hebat pengaturan waktunya. Kan mereka ibu-ibu, yang juga harus ngurusin rumah.

Sebetulnya saya iri dengan orang yang bisa rajin menulis. Bagi saya, kegiatan yang satu ini perlu waktu khusus. Apalagi saya anggota team introvert, yang tak bisa berlama di keramaian, artinya saya harus mojok menyendiri untuk menulis, dan tak bisa secepat orang lain karena saya bukan orang yang multitasking. Iya, office boy di kantor kerap membuyarkan ide-ide saya untuk menulis (Cahyadi, kamu jahat, wkwkwk). Saya selalu bekerja one by one, selesaikan dulu satu pekerjaan, baru bisa mengerjakan yang lainnya. Sulit bagi saya kalau kegiatan menulis diselingi berbagai pekerjaan lain. Buyar deh semuanya. Meski sudah saya planning dengan point-point, yang sulit adalah mengembangkannya, dan mengembalikan mood menulis ke planning tadi.

Maka, bagi saya, orang-orang yang bisa produktif menulis itu bisa disimpulkan dengan satu kata: mengagumkan.

Selain itu, yang bikin saya heran adalah pengaturan waktu. Saya bertanya-tanya, gimana ya mereka ngatur waktu sehingga semua pekerjaan bisa diselesaikan dan ditambah pula dengan waktu menulis?

Waktu saya 24 jam, mereka juga. Terus kenapa saya gak bisa seproduktif mereka?

Saya sampaikan hal ini kepada sahabat saya (yang sering bikin saya jengkel dengan jawabannya yang seringkali simple dan realistis dan menyakitkan). Dia ketawa, jawabannya so simple (dan jleb as always) : “Tuh cuma soal prioritas, prioritas mereka apa, prioritas lo apa.”

Iya bener. Selama ini saya ngeblog sebagai bagian dari relaksasi, nyantai, ntar kalau ada waktu. Upload foto juga gitu. Saya sangat menikmati perjalanan-perjalanan saya, motret, dan lupa mengunggah, karena sudah keburu jalan lagi, menikmati perjalanan lagi.

Helowww mbak, hidup kok gak ada goal, kelewat santai tuh. Gimana mau produktif? Harus berasa dikejar deadline lah sekali-sekali, biar gak terlalu lambat kaya kura-kura.

Dan alih-alih nyadar serta mengubah diri, saya malah kembali ke dongeng kanak-kanak Semut dan Belalang : iyess, dalam hidup ini, ada orang-orang yang rajin banget seperti semut. Nah harus ada penyeimbangnya kan? Baiklah saya menjadi belalangnya saja.

Maafkan, alasan seorang introvert banget. Suka sorangan, bergelung di tempat tidur, main dengan kucing, bermalasan saat mendung dan hujan, sambil minum teh. Euweuh kadaek pisan. Demikianlah 🙂

Dangau mungil dan daun bawang di Argapura

 

 

dsc_0324-01452618032.jpegPada dasarnya saya pemalas dan tak suka segala sesuatu yang tergesa-gesa. Maka setiap bepergian kemana pun, selalu bersiap jauh hari, dan selalu berharap untuk sempat bermalam di tempat tujuan. Bukan apa-apa, biasanya saya pergi sambil motret, atau bahkan bertujuan untuk memotret. Kalau saya berangkat malam, sampai sana pagi, langsung motret, maka tubuh saya akan meminta haknya: istirahat. Saya akan motret dalam keadaan capek, dan sejujurnya, kalau letih, saya tidak bisa memotret dengan maksimal. Dari sekian puluh jepretan, bisa jadi hanya sepuluh yang tidak goyang dan tidak blur. Sayang dong, perjalanannya sudah begitu lama, yang dihasilkan tidak memuaskan hati.

Salah satu tempat yang saya kunjungi dengan “rusuh” adalah Argapura, Majalengka  di awal Januari tahun ini. Asiklah awal tahun dibuka dengan trip, semoga dilanjutkan dengan perjalanan di bulan-bulan selanjutnya sepanjang tahun ini.

Saya berangkat bersama teman-teman jam 10 malam, sampai di Majalengka dini hari jam 3, tidur sebentar di mobil (sepanjang jalan juga tidur, tapi ya gitu deh, tidak nyenyak), lalu mulai mencari sunrise. Nyamankah tidur di mobil, dini hari, sekitar 2 jam saja? Ya nggak lah, tubuh tidak berada di tempat rata, bikin pegal pinggang. But show must go on. Mari mulai….

Keluar dari mobil, matahari belum terbit. Saya membiasakan mata saya untuk melihat sekitar, kelihatan sih samar-samar. Setengah jam kemudian, terang tanah, semuanya tampak lebih jelas, dan saya bisa melihat semuanya.

dscf4258-021440539614.jpeg

Helow, ini tempat apa sih? Indahnya tiada tara. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya perbukitan, dengan garis-garis beraturan, sangat rapi. Ini “hanya” perkebunan bawang gaes, iya, bawang daun, yang sering saya pakai buat bikin sop kegemaran anak saya.  Heran, bisa geulis gini kebun bawang. Kiri, kanan, depan, semuanya berderet, membuat pola yang tampak ajaib, lebih mirip patchwork daripada kebun.

Seperti biasa setiap kali melihat pemandangan indah, saya diam saja melongo, menikmatinya, dan lupa mengeluarkan kamera. Maunya sih tak usah motret, diam-diam saja di situ, merasakan diri rileks. Eh tapi, saya ‘kan ingin punya juga fotonya, buat dokumentasi, bukti bahwa saya pernah ke sana, supaya kalau saya cerita, orang percaya, haha.

Saya mulai memotret. Kata guru saya, kalau datang ke satu tempat sebagai juru foto,  memotretlah seperti menulis, mulai dari keseluruhan, lalu, menyempit. Selalu itu bekal saya kalau bepergian, agar foto-foto yang kelak bisa bercerita dalam deretan, dan saya tak perlu terlalu repot menuliskan narasi, biarkan gambarnya bercerita sendiri.

dscf42491155634041.jpg

Mau cerita apa tentang kebun bawang ? Semua ibu-ibu pasti tau bendanya seperti apa. Oh mau kesana ? Coba googling, tempat ini sudah menjadi ‘tempat wisata sejuta umat’. Saya Cuma harus ingatkan, bahwa jalan menuju kesana tuh sempit, curam serta menanjak. Itu saja.

Apa yang bisa difoto di sana? Ya kebun bawang lah. Apalagi? Kalau senang memotret manusia, di pagi hari banyak ibu dan bapak petani yang beraktifitas di tengah pola-pola perkebunan bawang. Oh ya, ada juga dangau-dangau, pondok mungil di tengah perkebunan, yang tampak sebagai aksen di tengan keluasan warna hijau.

dsc_0294-011021904803.jpeg

Jangan lupa, kalau niatnya jalan-jalan, gak usah buru-buru. Nikmati saja alamnya. Santai. Kalau pada akhirnya gak sempat berfoto di sana karena lupa, gak papa juga. Sesekali, lupakan niat untuk terus-terusan eksis di media sosial dengan foto-foto kita di berbagai tempat di dunia. Berbahagialah saat menjadi bagian dari keindahan alam, bukan saat mendapat banyak likes ketika mengunggah fotonya di media sosial.

Memotret seribu gelombang di Sawarna

Pantai pastilah menjadi primadona landscape yang diburu oleh para fotografer, or pantai, or pegunungan, maka bepergian ke dua kawasan itu selalu seru dan mengasyikkan. Bagi saya, yang menarik bukan hanya tempatnya, bukan hanya obyek batu karang di pantai atau hijaunya warna perkebunan sejauh mata memandang, lebih dari itu adalah effort untuk mendapatkan angle dan momen agar memperoleh foto yang seringkali disebut orang sebagai foto cetar. Lalu, bagaimana mendapatkan foto-foto yang kelak di akun Instagram akan mendapat banyak likes dan dikomentari puluhan kata “kerennn”? Oh, kalau itu sih saya gatau, semestinya Anda bertanya pada content creator agar jadi ngehits di media sosial, bukan pada saya.

Bagi saya pribadi, yang disebut keren, cool, cetar atau apapun namanya, bukan hanya sekadar jumlah likers di media sosial, tapi bagus saja deh menurut yang memotretnya, setidaknya ketika melihatnya lagi, ada kepuasan, atau yang lebih mahal adalah: ada kenangan akan tempat yang dikunjungi, ada pengalaman yang bisa ditarik kembali dari masa lalu, mungkin bisa disenyumi karena teringat perjalanan kala itu, bisa membuat tertawa karena terkenang teman seperjalanan yang setiap bicara selalu bikin ketawa.

Kali ini juga, deretan foto di pantai favorit saya, yang selalu ingin saya kunjungi lagi entah kapan kalau ada kesempatan. Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, di Banten. Sudah kedua kalinya menjejakkan kaki di sana, rasanya masih kurang juga waktu untuk merekam seluruh pesisir pantainya.

Tanjung Layar, Sawarna. Sunset.

Kenapa tempat ini begitu memikat? Yeay, namanya juga pantai. selalu membuat rileks. Main air, dimana pun, pasti menyenangkan, dan jangan ditanya, pantai selatan, yang menghadap ke Samudera Indonesia, pastilah sumber gelombang tinggi yang berdeburan membentur karang. Iya, di Sawarna dan kawasan sekitarnya: Tanjung Layar, Karang Taraje, Legon Pari dipenuhi dengan batu karang. Jadi gelombang besar yang datang, membentur batu karang sebelum melembut menyusur pasir pantai. Yang paling cantik adalah saat gelombang membentur karang yang memanjang di pantai, menyisakan buih air laut di sela-sela batu karang, mirip air terjun.

 

Sawarna, sunrise

Gimana sunrise dan sunset di Sawarna? Di pantai mana pun, hal yang dua itu pasti luar biasa indah. Nah ini yang tadi saya sebut sebagai effort untuk mendapatkan hasil foto yang memuaskan. Kalau ingin mendapatkan foto sunrise yang ciamik, setelah solat subuh sudah harus siap di pantai, menanti matahari terbit. Lalu setelah matahari terbenam masih harus berada di pantai, menunggu blue hour, saatnya langit berubah, bukan lagi berwarna jingga, tapi menjadi ungu kebiruan dengan sisa warna jingga.

dscf7059-01587362942.jpeg
Karang Taraje, Sawarna, Banten

Karena berangkat saat masih gelap dan pulang setelah gelap, maka ada sedikit pengorbanan, kadang merelakan telapak kaki sedikit luka karena menginjak karang-karang tajam, meskipun sudah menyorotkan senter, kan senter hanya untuk menerangi, bukan alarm pendeteksi ketajaman karang. Juga harus bersiap untuk menjadi angkaribung (ini bahasa Sunda yang artinya banyak banget bawaan). Kamera dikalungkan, tripod disandang di bahu, bawa senter,  bawa monopod. Lha ngapain bawa monopod, kan udah bawa tripod? Ooo ini sih alasan pribadi, buat saya, monopod berguna juga sebagai tongkat. Kan waktu menyebrang bebatuan terkadang harus nyemplung, nah itu seringkali gak ketahuan kedalamannya, maka saya tancapkan dulu monopod, baru saya melangkah, agar teguh dan tidak terpeleset.

dscf7203-01287709239.jpeg
Legon Pari, Sawarna, Bayah

Oh yaa, hampir lupa. Sehubungan dengan banyak bawaan tadi, ada tas kecil yang dibawa, isinya filter. Kalau saya sih hanya bekal filter ND, biasalah buat bikin foto air yang seperti kapas (dan tampak kurang natural, IMHO) plus filter CPL, polarizer. Dua filter itu sudah membuat saya cukup sibuk gonta ganti, jadi saya tidak pakai filter-filter lain, kuatir saya jadi bermain filter dan bukan memotret 🙂

Demikian. Kalau saya sih senang dengan kehebohan motret gelombang di pantai. Sewaktu di Sawarna, di Karang Taraje, agak cemas juga karena saya turun ke pantai berkarang, ketika berangkat sih airnya rendah, tapi ketika pulang airnya mulai naik, akan pasang, sudah 15 centimeter di atas lutut. Alhamdulillah saya bersama pak Dadang, pemandu yang baik dan berpengalaman, penduduk setempat. Dia yang menenangkan saya bahwa “semua akan baik-baik saja” (mirip lyric lagu), jadi saya berjalan saja melintas air laut yang mulai pasang. Bismillah, alhamdulillah, sampai kembali di tepi pantai yang landai, dibonceng pak Dadang naik motor, kembali ke penginapan.

Demikian ya. Kalau ada yang ke Sawarna, ajak saya ya, saya ingin ke sana lagi, tak pernah bosan memotret ribuan gelombang yang membentur karang.

dscf6621-011338525723.jpeg
Using ND Filter

 

Resolusi Abadi

Selamat siang 2019.

Inilah postingan pertama di tahun ini, dengan harapan akan berkelanjutan, setidaknya lebih banyak daripada postingan tahun lalu yang ngitungnya pun malu karena terlalu sedikit. Yaah namanya juga usaha,harapan. Lumayanlah masih punya impian, kan katanya orang sukses itu memulai segalanya dari impian. Atau hal ini masuk list resolusi tahun 2019?

Akhir tahun lalu putra saya menanyakan berkali-kali mengenai resolusi saya, dan jawaban saya tetap sama : “Ibu gatau dek”.Oh, gak tau ya? Sementara kebanyakan orang sudah punya list, saya masih juga menggelengkan kepala dengan wajah tanpa ekspresi.

Serius, gak tau. Barangkali karena saya punya terlalu banyak keinginan untuk direalisasikan sehingga bingung harus mulai dari mana. Mendengar teman saya rajin berenang, saya ingin. Mendengar teman lainnya akan rajin berjalan pagi, saya juga ingin. Pergi ke toko A yang memikat (dengan harga-harga selangit), saya jadi ingin sepeda statis. Lihat si X pake kamera baru atau henfon dengan fitur keren, saya jadi kabita. Lalu ingin membuat dapur di halaman belakang, lalu ingin menuntaskan toilet di lantai atas yang baru separuh selesai. Selain itu, ingin merapikan halaman depan rumah, membuat taman, ingin jalan-jalan kesana, kesitu, kesono. Terus ? Semua itu dijadikan kenyataan di tahun ini ? Helow, mimpi juga ada batasnya keleus, bukan sagala hayang, semua diinginkan, sementara kemampuan terbatas.

Setiap kali bercermin di pagi hari, perasaan wajah saya semakin mirip Nobita, kawannya Dora Emon. Mirip sekali. Iyalah, ‘kan emang sodara kembar: ingin ini ingin itu banyak sekalee.

Maka, saya tertawa mendengar kisah obrolan putra saya dengan temannya:

“Duh, tahun 2018 tu kayanya saya gini-gini aja ya. Tar tahun 2019 harus berubah ah, masa gak ada perbaikan. Pokoknya harus lebih baik. Harus!”

“Iya nih, saya juga mikirnya gitu kok. Gak asik nih saya tahun ini. Tahun depan harus lebih keren, lebih asik segalanya. Ehm, eh tapi….bukannya tahun lalu juga kamu ngomong kaya gitu ya? Aku juga, rencananya sih begitu, n ngomongnya persis sama. Terus weee tiap tahun berencana, tapi gak pernah menjadi kenyataan.”

Mendengar obrolan itu, saya ketawa. Memang cuma humor sederhana antar remaja, tapi lumayan mengiris hati. Dan saya ketawa, tidak lebar, sedikit getir. Saya sedang mentertawakan diri sendiri, menyadari bahwa rencana saya atau impian atau resolusi di akhir tahun atau apapun namanya, seringnya mirip lagu cengeng jaman baheula : “promise only promise, honeymoon only dreaming” atau tepatnya “janji tinggal janji, bulan madu hanya mimpi”.

Seminggu sebelum 2018 berakhir, saya ngobrol tentang resolusi dengan teman-teman kantor. Salah satu teman yang (menurut saya) paling realistis mengatakan dalam kalimat singkat: “Biasanya, resolusi tahunan tuh dilaksanakan di bulan Januari saja”.

Semoga tidak demikian sih. Semoga resolusi tahunan memang dilaksanakan dan dijalankan, dengan penuh disiplin dan secara sungguh-sungguh.

Maka, saya memilih untuk menjawab: “Ibu gak tau dek” ketika putra saya menanyakan resolusi saya untuk tahun 2019. Kalaupun ada, saya simpan sendiri saja deh, daripada anak saya keburu berkomentar: “perasaan, sama dengan tahun-tahun lalu.”. Itu ‘kan namanya resolusi abadi