Minum Teh

Ada yang pernah memanggil kenangan masa lalu ke masa kini? Saya sering šŸ™‚

Saya kerap merindukan banyak hal dan kebiasaan yang dulu sering dilakukan, semisal ketika ibunda masih ada. Ibu saya tuh jadul banget kebiasaannya. Di pagi atau sore hari senang duduk menghadap meja bundar di ruang makan, menghadapi teko berisi teh panas, termos air panas, beberapa cangkir yang diletakkan menelungkup, dan kudapan kue atau roti tawar (Roti Sumber Hidangan yang legend itu dong), yang dilengkapi dengan selai kacang beserta palm suiker, atau selai coklat Crumpy, atau mentega dan muisjes merk Ceres.

Suasana seperti itu yang sering saya rindukan kembali. Ngobrol dengan mami, santai, gak dikejar waktu, gak bentarĀ² liat jam karena mau pergi. Sayangnya dulu saya gak terlalu sering melakukannya karena saya kuliah, lalu bekerja, dan berpikir bahwa itu kok seperti tamuĀ²an di rumah. Padahal kalau dipikir-pikir sekarang, itu menyamankan hati, dan menggembirakan, dan membahagiakan.

Sekarang ini terkadang saya masih melakukannya, bersama kakak perempuan saya. Kalau saya ke Jakarta ke rumahnya, ya begitulah, pagiĀ² duduk santai, ngobrol sambil ngeteh dan sarapan, sebelum pergi kemanaaa gitu ke tempat yang juga menyenangkan untuk jalanĀ² dan motretĀ². Alhamdulillah punya kakak yang juga seneng motret. Bersama dia, waktu berjalan dengan menyenangkan, tidak terbuang percuma, karena kalau ngobrol pun berbagi info, atau berbagi pengalamanĀ² yang menambah wawasan.

Hari ini, kakak saya datang ke rumah, sowan sebelum pulang kembali ke Jakarta. Saya gembira bisa memanggil kenangan masa lalu ke rumah saya. Jadilah “tamuĀ²an” di rumah, minum teh dari teko yang sudah disiapkan (tehnya dari Malang, cap Naga, enak banget), makan makaroni panggang (dulu mami juga sering bikin ini) dan pempek buatan sendiri, ngobrol soal tanaman dan perawatannya, soal kesehatan, soal krim penghangat untuk pijat dan obrolanĀ² lain yang menghangatkan hati.

Salah satu kenangan yang saya undang hadir siang ini adalah teko dan tutupnya yang terbuat dari busa. Saya ingat, dulu di rumah mami juga pakai tutup busa seperti itu, agar teh tetap hangat. Cuman saya gatau lagi, dimana penutup teko milik mami. Yang siang tadi saya pakai adalah yang saya beli tempo hari di toko langganan di Jawa Tengah. Pas liat, langsung jatuh cinta, dan teringat mami. Ya harus saya beli kalau sudah begitu šŸ™‚

Apa istimewanya penutup teh seperti itu? Keistimewaannya memang hanya bisa dirasakan, sulit diungkapkan, sebagai kenangan masa lalu yang dirasakan kembali saat ini. Pokoknya, hari ini, rasanya seperti liburan, tidur di losmen (bukan di hotel mewah) minum teh harum buatan Jawa Tengah atau Jawa Timur, mendengarkan suara cericit burung, sambil mengudap kudapan jadul.

Jadi, kebahagiaan kamu sesederhana minum teh di teras belakang rumah?

Iya, begitulah. Lha kan katanya, bahagia itu sederhana. Alhamdulillahi rabbil alamiin.

Mariii, menikmati tea time, dan merasa bahagia, di rumah saja.

Mengoprek itu asyik

Bagi saya pribadi, mengoprek atau ngulik itu kata-kata yang menyenangkan dan selalu membuat semangat menggelora. Menemukan sesuatu yang baru di dunia maya, mencoba aplikasi untuk ponsel, menemukan cara mudah untuk sharing ke blog pribadi, mencoba mengunggah dengan aplikasi editing foto di ponsel. Semua itu adalah bagian dari mengoprek. Menambah ilmu, memperkaya wawasan. Dan itu semua rasanya begitu mengasyikkan, bisa lupa waktu lupa makan lupa tidur.

Semestinya tidak boleh bego begitu. Segemar apa pun kita pada sesuatu hal, selalu harus ada self reminder, alarm yang berbunyi pada saat kita "gak nauin diri".
Dan kalau alarm itu berbunyi berdering-dering, selayaknya jangan menutup kuping, tapi mendengarkan dengan "besar hati", dan tentunya patuh untuk berhenti dari kegemaran yang mengasyikkan itu tadi.
Yaah, apa boleh buat. Waktu per hari itu 24 jam. Masa sepanjang hari cuma diisi dengan hal-hal yg kita inginkan dan melupakan tugas serta kewajiban.

Garis Cinta

Garis Cinta

Sejak dulu aku memiliki penggaris istimewa yang kusimpan di relung hatiku, penggaris yang tidak akan pernah kamu temukan di toko mana pun karena memang tidak diperjualbelikan. Benda yang satu ini terlalu mahal harganya, dan tidak ada seorang pun akan mampu membelinya.

Itu penggaris yang di sisinya terdapat garis-garis tipis yang menandai cinta dalam hatiku sepanjang perjalanan hidupku. Aku menyebutnya garis cinta, yang menebal ketika aku merasakan cinta itu hadir. Dan sejujurnya, sangat jarang muncul garis disana.

Aku tahu garis itu telah berhenti di satu titik, dan yakin bahwa tak akan muncul lagi garis lainnya. Karena cintaku sudah berlabuh disana, di titik itu, yang tergores saat pertemuanku dengan dirimu.

Bagaimana mungkin akan muncul guratan lainnya, kalau aku tahu bahwa dirimu tidak akan tergantikan oleh siapa pun?

Aku mencintaimu, dengan sungguh….

Teduh

Wanita yang memiliki keseluruhan jiwa dalam kehidupan seorang pria bukanlah wanita yang menjadikannya bermata cemerlang untuk mengalahkan dunia, tetapi wanita yang dalam kebersamaan dengannya – membuat matanya terpejam merajut impian, nafasnya membuat damai, dan terkulai pulas dalam tidur yang dalam.
Bagi pria, wanita penggelora sukma memang menarik, tetapi yang lebih dirindukannya adalah wanita penenteram jiwa.

Mario Teguh – loving you all as always
11 Februari 2012

Kembali

Januari, meskipun sudah masuk minggu terakhir, selalu menjadi saat yang tepat untuk memulai sesuatu, cuma dengan alasan bulan pertama, tak lebih tak kurang. Artinya masih ada 11 bulan yang berderet dengan manis untuk diisi dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang dimulai bulan ini. Misalnya kembali menulis secara regular di blog yang mana pun, hanya untuk kembali “mengasah” otak agar tak tumpul karena kebiasaan merumpi di jejaring sosial. Sungguh, aku bosan merumpi, betul-betul merasa boring karena rumpi selalu tak menyelesaikan masalah dan hanya sekedar melegakan perasaan curhater kepada spesialis pendengar curhat. Selesaikah masalahnya? Biasanya tidak. Paling banter cuma membuat curhater bisa tersenyum sebentar karena merasa ada kawan, soalnya si pendengar ikut nangis bersamanya. Ckckck, demikianlah Indonesia, menangis saja harus berjamaah.
Dari dulu, saya memang tidak pernah terlalu suka di keramaian seperti di sebuah jejaring sosial. Bukannya anti sosial, bukan tak senang berkawan dan bertemu teman lama. Tapi belakangan ini memang tersaring sangat sedikit orang-orang yang pantas dijadikan teman. Lha iya, kalau teman hanya sekedar untuk haha hihi, kayanya emang gak perlu sih, yang dibutuhkan adalah teman yang suportif (selain sportif dan fair), yang mendukung langkah kita untuk maju, bukan yang menjegal dan menusuk dari belakang pada saat kita lengah.
Zzzz, kenapa jadi melenceng begini ya ceritanya. Padahal mulanya cuma mau cerita sedikit untuk mulai menulisi lagi blog pribadi. Ah, pokoknya demikianlah, saya mulai lagi menulis di blog, untuk melepaskan kemacetan otak yang diakibatkan oleh aktifitas sok sibuk di jejaring sosial yang sungguh heboh. Mulai lebih terarah, dan fokus tentunya….

Diammu

Dari dulu aku tahu, Marcel, bahwa diammu adalah lengkung memikat yang melingkari hari dan malam-malamku. Diammu adalah tarikan nafas beraturan yang meyakinkanku bahwa kamu ada di ujung sana, mendengarkanku.
Diammu adalah helai-helai kerinduan yang bertumpuk rapi tersusun seperti rapinya laci mejamu, adalah derap hujan di atas gentingku yang membuat angan dan khayalku melayang jauh ke balik tirai jendelamu.
Diammu adalah hening penghantar cinta yang mengetuk gerbang mimpiku di penghujung malam, saat mata terpejam menanti hadirnya pagi cemerlang…. Dari dulu aku tahu, Marcel, diammu adalah selimut cinta yang kau sembunyikan.

Aku baik-baik saja, Arletta….

Arletta, aku tak melakukan apapun juga untuk mengganggu hidupmu. Kamu tahu? Tawa dan senyummu menyemarakkan duniaku. Jadi bagaimana mungkin kukirim galauku kepadamu?
Aku tak mau matamu perih setiap kali mengingatku. Yang kuingin kamu ingat tentang diriku adalah bahwa “aku akan baik-baik saja”. Aku tahu kalimat itu penting buatmu dan membuatmu nyaman. Kamu memang tak pernah ingin sesuatu yang buruk terjadi padaku, selalu muncul banyak tanya di benakmu, kuatir dan cemas akan orang yang sungguh berarti bagimu. Dan pernyataanku bahwa: “aku akan baik-baik saja”, selalu menenangkanmu.
Lantas kenapa kamu merasa galau sejak kemarin? Aku tak tahu. Aku heran dan bingung, bagaimana mungkin kamu tahu resah dan galau dalam hatiku yang sedemikian rapi kusembunyikan?
Arletta, perasaanmu terlalu tajam untuk kudustai. Selalu percuma aku menyimpan sesuatu darimu, karena kamu selalu berhasil menemukannya dengan kelembutan hatimu.
Aku memang galau Arletta, ingin menggeram dan meraung bagai hewan luka. Nyaris tak bisa kuatasi perasaanku sendiri.
Begitu lama aku selalu berhasil menenangkanmu, membantumu mencari solusi masalah-masalah hidupmu. Ternyata aku tak mampu mengatasi masalahku dengan hatiku sendiri.
Aku terperangkap diantara benci dan rindu, antara impian dan kenyataan. Antara luka mengoyak dan cinta tak bertepi….
Kamu tahu Arletta, aku ingin bercerita padamu, ingin berlaku seperti kamu padaku, berbagi dan mengeluh, merasa nyaman merasakan bahwa ada orang yang mengerti dan memahami.
Tapi aku melihatmu terlalu rapuh dan tak akan mampu berlaku seperti aku. Aku yang seharusnya memanjakan dirimu, dan bukan sebaliknya.
Aku terlalu angkuh untuk mengakui bahwa aku butuh dukungan, butuh menumpahkan kegamangan hati membayangkan sesuatu yang tercerabut dengan paksa dari hidupku yang indah.
Maafkan aku Arletta, ternyata kamu tahu juga, hatimu yang lembut itu merasakannya tanpa aku harus berkata. Kamu tahu aku gundah, meski kamu tak tahu apa masalahnya. Maafkan aku telah membuatmu resah.

Percayalah, “aku baik-baik saja”. Aku tidak apa-apa. Lanjutkan hidupmu. Kamulah “little princess” yang selalu membuat hariku berkilau keemasan, selalu hanya kamu dalam benak dan hatiku.

Luv u, Arletta Faradina!
(aku tahu, kamu selalu suka ketika kusebutkan nama lengkapmu….)

Galau yang kau kirimkan, Marcel….

Marcel, kamu jahat. Sejak kemarin namamu memenuhi benak dan hatiku, sampai aku tak mampu berpikir dan melakukan yang lainnya. Bergerak, kemana pun juga, hanya ada bayangmu, hanya ada tatapanmu yang bagiku tampak bagai sembilu. Tatapan dari hati yang terluka, pandangan yang seolah meraung dalam, menuduhku sebagai sumber dari seluruh penderitaanmu kini.

Marcel, pagi ini langit biru cerah. Dengan cuaca seramah ini, aku berharap hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan semoga bisa kulakukan banyak hal tanpa terus menerus teringat kepadamu.

Aku gagal. Dengan kecewa menerima kenyataan bahwa bayangmu masih menari di benakku, membuatku ingin berlari menghindar, menutup mata dan telinga, membebaskan diri darimu. Wahai, bahkan di tengah riuh orang bergembira melakukan senam pagi, kamu masih juga menguasai hatiku. Hatiku hampa, dan aku merasa sedemikian sunyi dalam keramaian.

Tolong, kumohon dengan sangat, tinggalkan aku sendiri, Marcel. Lepaskan aku dari bayangmu yang mengisi sepenuh waktuku. Bukan salahku cinta yang muncul di antara kita, juga bukan salahmu. Karena cinta memang tak pernah salah memilih, karena cinta memang hadir tanpa diundang, menelusup diam-diam ke lubuk hati terdalam.

Tidak ada gunanya menyesali pertemuan. Tak perlu tanya ā€œkenapa?ā€. Kenapa harus aku? Kenapa harus kita? Kenapa bertemu kalau kemudian dipaksa berpisah? Kenapa harus punya cinta kalau kemudian hanya menorehkan luka mendalam?

Marcel, kita hanya akan mendapat keletihan mempertanyakan sesuatu yang tak pernah ada jawabnya. Dan menyesali kenyataan yang kita terima hanya akan membuat dada sesak menahan teriak. Dan ketahuilah, sesakmu itu menular, dikirim melalui awan, ke hati dan benakku.

Maka aku juga ikut merana merasakannya. Ikut merasakan galau yang mengisi hari-harimu.

Please Marcel, jangan buat aku merasa tersiksa….

Teruntuk Marcel, dari Arletta Faradina

Engkau yang pergi dengan gerimis…..

Aku tak mampu berkata sepatah kata pun, hanya bisa mengeluh diam-diam saat kulihat gerimis di matamu. Ada luka yang tiba-tiba menyeruak, memaksaku menutup mata, tak tega melihatmu berlalu.
Betapa ingin aku berteriak menggeram, menghujat ketakadilan yang hadir dalam bentuk takdir. Kenapa harus kita yang dipilih untuk merasakan kesakitan ini.Kenapa bukan orang lain? Kenapa?
Aku ingin menahanmu pergi. Ingin kugenggam erat jemarimu yang tampak rapuh. Ingin kuhapus duka yang membias dalam tatapmu yang lembut.
Kita terpisah oleh jurang dalam. Terlalu curam, terlalu sulit untuk kuarungi. Padahal aku ingin menjemputmu ke seberang sana, melihat kilau bintang di matamu, kilau lembut kebahagiaan.
Aku ingin menjadi Prince Charming yang menjemput Putri Aurora. Ingin melihat senyummu mengembang saat melihatku datang. Tak seperti saat ini, ketika kau memalingkan wajah, menyembunyikan bening yang nyaris meluncur, agar aku tak melihatnya.
Kau tak layak berduka, kau tak boleh terluka. Biar aku saja yang merasakannya. Jangan dirimu.
Aku ingin berteriak keras, mengejar langkahmu yang kecil-kecil. Aku ingin menyamakan langkah di sampingmu, menjaga dirimu.
Menyesal karena aku tak berdaya melakukan apapun, dan hanya bisa melihatmu menjauh.

Engkau, yang berlalu dalam gerimis….